Melihat cinta sebagai salah satu bentuk
sikap dan perilaku manusia, maka tidak bisa dimungkiribahwa cinta merupakan
salah satu lahan garapan bagi kajian psikologi. Secara psikologis cinta adalah
sebuah perilaku manusia yang emosional di mana wujudnya adalah tanggapan atau
reaksi emosional seseorang terhadap rangsangan tertentu. Dalam hal ini cinta
dipengaruhi oleh interasi antara pecinta dengan lingkungannya, kemampuan
pecinta tersebut, serta tipe dan kekuatan unsur pendorongnya.
Dalam mendefinisikan cinta belum
pernah ditemui satu rumusan tentang cinta yang singkat padat dan mewakili
pemahaman akan cinta itu sendiri secara tepat. Ini dikarenakan bahwa
pendefinisian itu merupakan suatu hasil pemahaman seseorang terhadap realitas
yang dihadapinya, maka sangat mungkin jika definisi yang dilontarkan seseorang
sangat tergantung latar belakang historis
yang membuat definisi dan kondisi yang melingkupi ketika definisi
tersebut dilontarkan. Jika melihat cinta sangat erat berkait dengan dimensi
perasaan, maka sangat tidak mustahil jika pendefinisian tersebut juga dipengaruhi
oleh pengalaman seseorang dalam cinta.
Kata cinta dalam bahasa Indonesia
dapat berarti: suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat (antara laki-laki
dan perempuan), ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati, (khawatir). Sedangkan
dalam kamus psikologi, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut kesenangan
terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila muncul dalam
pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi
di mana objek itu terletak atau berada. Banyak sekali tokoh-tokoh psikologi yang
mencoba mendefinisikan cinta, dan harus diakui bahwa definisi-definisi tersebut
sangatlah beragam dan tidak senada. Diantaranya adalah Sigmund Freud, yang
mengungkapkan bahwa cinta dan hal-hal lain yang sama sifatnya dengan cinta
tidak lebih dari salah satu kemampuan psikis manusia. Sumber dan pusat
pendorong yang paling utama dalam cinta dan hal-hal lain tersebut adalah libidoseksual. Berbagai pandangan yang
mulukmuluk tentang cinta sebenarnya bermuara pada cinta seksual dan bertujuan pada
penyatuan seksual. Jika objek cinta yang dimaksud bukan lawan jenis, maka pusat
yang sebenarnya tetap libidoseksual, hanya saja itu diproyeksikan kepada hal
lain. Apabila energi yang berpusat pada libido seksual itu diproyeksikan kepada
hal lain atau aktifitas lain, energi tersebut akan mengalami perubahan dari
kehendak mewujudkan tujuan seksual, menjadi bentuk lain yang kreatif.
Freud adalah orang pertama yang mengajukan
teori cinta koheren yang dilandaskan pada prinsip-prinsip lmiah. Dia
menyimpulkan bahwa kita jatuh cinta karena kita mengikuti aturan-aturan yang
tertanam di alam bawah sadar kita.
Erich Fromm, pakar Psikoanalisis,
melihat adanya unsur-unsur mendasar dalam segala bentuk cinta sejati.
Unsur-unsur itu mencakup kepedulian, tanggung jawab, rasa hormat dan
pengetahuan. Rasa hormat hanya mungkin muncul pada individu yang merasa tidak
perlu mendominasi, mengendalikan atau memanfaatkan orang lain. Cinta adalah
bocahnya kemerdekaan. Dan jelas, orang tidak bisa mencintai apa yang tidak
diketahuinya.
Sementara itu, tokoh psikologi
Humanistik, Abraham Maslow, memiliki gagasan bahwa manusia dimotivasi oleh
sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, untuk
berubah, dan berasal dari sumber genetik atau naluriah. Kebutuhan dasar
tersebut tersusun secara hirarkhis dalam lima strata yang bersifat relatif,
yaitu :
a. Kebutuhan-kebutuhan
fisiologis (fa’ali)
b. Kebutuhan akan
keselamatan
c. Kebutuhan akan
rasa aman
d. Kebutuhan akan
rasa cinta dan memiliki
e.
Kebutuhan akan aktualisasi diriSumber :
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=10260
0 comments:
Post a Comment